Selasa, 22 Juli 2008

Buku Baru Karya Denny Indrayana

Pada tanggal 2 Juli 2008 Universitas Paramadina yang berlokasi di jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan mengadakan acara peluncuran buku dan diskusi. Ada dua buku yang diluncurkan dan dibahas. Keduanya adalah karya dari Denny Indrayana, seorang pakar anti korupsi yang wajahnya sudah sering menghiasi layar kaca dan media cetak. Judulnya lumayan provokatif: Negeri Para Mafioso serta Negara Antara Ada dan Tiada.Denny tentunya juga bertindak sebagai pembicara. Sebenarnya ada 3 pembicara lagi yang diundang, yaitu Chandra Hamzah dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anies Basdewan dari Paramadina, serta Andi Mallarangeng (juru bicara presiden) yang mewakili suara pemerintah. Namun bung Andi terlambat datang, sebab masih di pesawat dari Semarang. Dan akhirnya bung Andi datang juga langsung dari bandara ke acara ini. Luar biasa calon pemimpin kita yang satu ini.
Sebelum diskusi dimulai acara dibuka lebih dulu oleh keynote speech masing-masing oleh Jimly Assidiqqie, ketua Mahkamah Konstitusi, dilanjutkan oleh Anies Baswedan Rektor Universitas Paramadina selaku tuan rumah. Oh ya, adapun bertindak sebagai moderator adalah pakar ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Ghozali yang membawakan acara ini secara kocak sehingga diskusi menjadi segar dan tidak melelahkan.
Anies Baswedan mengatakan bahwa universitas yang dipimpinnya, Paramadina telah menjadi universitas pertama dan satu-satunya di Indonesia yang mengajarkan mata kuliah anti korupsi di setiap fakultasnya. Dan ini tentu saja merupakan suatu terobosan baru dalam memasyarakatkan budaya anti korupsi di masyarakat. Anies mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi bukan pekerjaan satu dua hari. Kota Chicago di Amerika Serikat perlu waktu 60 tahun untuk membersihkan jaringan mafioso sampai ke akar-akarnya.Bangsa China bahkan memelukan waktu sampai 300 tahun untuk mendirikan tembok China.Walaupun sang pendiri,sebagai peletak batu pertama pun tak akan pernah melihat tembok itu selesai.Suatu analogi yang tepat dari seorang Anies Baswedan.

Jimly Assidiqqie berpendapat bahwa mungkin bangsa kita terlalu banyak teriak (anti korupsi), sehingga lama kelamaan masyarakat menjadi imun atau kebal, dan lama kelamaan malah jadi tidak peduli.

Chandra Hamzah dari KPK mengatakan bahwa "budaya" korupsi di Indonesia memang terkait dengan kebiasaan "tak enak kalau tak memberi". Masyarakat sudah terbiasa memberikan sesuatu kepada aparat atas jasa pelayanan yang didapat. Walaupun sebenarnya aparat sudah digaji untuk melayani.Dan gaji mereka sebenarnya berasal dari pajak rakyat juga. Chandra mengutarakan keterbatasan KPK untuk menuntaskan kebiasaan korupsi secara menyeluruh,karena kewewenangan KPK yang hanya meliputi para penegak hukum serta penyelenggara negara.

Sedangkan Denny Indrayana sebagai bintang utama siang itu mempertanyakan soal tidak beraninya KPK menyentuh/menyusup ke Mahkamah Agung,sebagai tindak lanjut dari berderet sepak terjang KPK selama ini,dari DPR sampai Kejaksaan Agung. Denny juga mengusulkan perlu dipercepatnya Undang Undang Tipikor, karena UU ini adalah merupakan tandem dari KPK sendiri. Denny lalu memberikan hiburan kepada hadirin dengan membacakan puisi karyanya sendiri (maaf bila tak terdengar jelas):



Andi Mallarageng, juru bicara presiden,yang tentu mewakili pemerintah mengatakan bahwa 10 tahun terakhir ini adalah rentang waktu yang luar biasa.Terutama beberapa tahun belakangan ini dimana KPK yang sering menangkap orang. jadi, Andi berpesan kita harus optimis bahwa negara masih ada, dan negara tidak boleh kalah.

Effendz Ghozali, sang moderator mengusulkan perlunya budaya malu bagi para pelaku korupsi. "Dek Pendi" mengusulkan supaya para koruptor diberikan "seragam tahanan KPK". Jadi diperlakukan sama seperti pelaku kejahatan lainnya, seperti maling ayam atau pencopet. Effendi juga mengingatkan hadirin bahwa korupsi itu juga sangat "mengganggu kesehatan", karena setiap pelaku korupsi biasanya masuk rumah sakit. Boleh juga peringatan Dek Pendi ini.

Para hadirin pun diberikan kesempatan untuk bertanya ataupun mengutarakan pendapat.
Seorang hadirin menyatakan keberatannya pada istilah "korupsi berjemaah". Sebab menurutnya "berjemaah hanya boleh dipakai untuk kegiatan keagamaan. Yah terserah opini publik untuk setuju atau tidak permainan kata ini. Orang yang sama juga mengingatkan KPK akan bahayanya korupsi di TNI kita.
Penanya lainnya mempertanyakan apa sebenarnya kesulitan dari "pembuktian terbalik" dalam sistem penegakan hukum di negara kita.Sesuatu yang tampaknya mudah saja diterapkan negara lain.
Penanya berikut menceritakan pengalaman dari temannya yang sampai menjual sawah supaya anaknya bisa masuk sebagai Peagawai Negeri Sipil (PNS), yang untuk itu perlu dana sampai Rp.75 juta.Ini salah satu dasar dari mental korupsi aparat kita,sebab ketika bertugas tentu "modal awal" itu harus dicari gantinya.
Salah seorang hadirin yang mengaku sebagai pengusaha mengatakan bahwa para koruptor itu melakukan korupsi dengan relatif aman karena mereka berlindung di balik Undang Undang.

Tidak ada komentar: